Kajenesia - Pernah mendengar acara tradisi megono gunungan?. Bagi masyarakat Kabupaten Pekalongan pastilah mengetahuinya. Acara rutin yang di gelar tujuh hari setelah lebaran Idul fitri atau lebih di kenal syawalan. Jika kota Pekalongan syawalannya dengan lopis raksasa, maka kabupaten Pekalongan dengan megono gunungan.
Megono sendiri merupakan makanan khas Pekalongan yang berbahan dasar nangka muda yang di cincang. Adapun konon katanya tradisi gunungan megono memang sudah ada sejak dulu kala yang biasa di gelar oleh masyarakat desa Lingga asri sebagai bentuk rasa syukur atas limpahan panen atau hasil bumi selama satu tahun. Karenanya selain megono gunungan, pada kegiatan itu juga menyajikan gunungan hasil bumi. Sementara filosofi megono gunungan yaitu kesederhanaan meski rejeki melimpah.
Meski di katakan megono gunungan sudah ada sejak dulu kala, namun tradisi tersebut mulai di geliatkan kembali pada sekitar tahun 2009. Beberapa sumber menuturkan, di buatnya acara megono gunungan sebetulnya karena tiap kali syawalan warga Kabupaten justru berbondong-bondong ke krapyak untuk melihat acara pemotongan lopis raksasa. Hal tersebut menjadikan kepala daerah yang kala itu di jabat oleh Amat Antono ingin agar Kabupaten Pekalongan juga harus memiliki ikon syawalan supaya bisa menarik wisatawan baik warga lokal maupun yang dari luar kota. Dan akhirnya lahirlah tradisi syawalan megono gunungan di linggo asri.
Tidak ada yang keliru di penciptaan tradisi syawalan megono gunungan. Bahkan bisa di katakan strategi jitu untuk mendongkrak nama kabupaten Pekalongan. Sebab untuk membranding daerah memang di butuhkan ikon baik itu berupa event tradisi maupun yang lainnya. Bahkan pada awal di selenggarakannya event tersebut bisa di katakan sukses mencuri perhatian masyarakat. Bahkan warga yang biasanya merayakan syawalan di krapyak, kala itu banyak yang beralih ke linggo asri. Biasa, hal baru selalu mengundang rasa penasaran apalagi kala itu masyarakat juga sudah mulai jenuh dengan sajian acara lopis raksasa.
Sayangnya, sejalan dengan waktu, event megono gunungan makin berkurang peminatnya. Bisa jadi hal itu karena rasa penasaran masyarakat sudah tidak menggebu seperti ketika awal di selenggarakan. Apalagi jika berbicara tradisi, maka konten yang di sajikan akan itu-itu saja. Makanya tidak heran jika kemudian pada tahun-tahun berikutnya antusias warga semakin menurun. Sayangnya lagi, pemerintah daerah setempat juga tidak memberikan inovasi lain pada event tersebut. Dan memang hal demikian adalah tabiat lumrah orang-orang birokrasi yang enggan berinovasi dan berkreasi.
" sing penting acarane ono, anggrane ono "
Sehingga sukses sudah Kabupaten Pekalongan memiliki agenda rutinitas tanpa esensi yang jelas karena terjebak pada tradisi tanpa inovasi dan jika tidak segera di lakukan terobosan-terobosan maka dapat di pastikan event itu sepi peminat. Buktinya, pada syawalan megono gunungan (23/6/2018) hanya di kunjungi oleh ratusan orang saja.